Oleh : Iwan RS
Penumpang yang duduk di sebelahnya menyodorkan salak. Kang Dalimin yang dari tadi melempar pandang ke luar jendela bus pun melirik.
“Cobalah, Kang,” kata penumpang--yang dari basa-basi singkatnya, punya tujuan sama, Jogja.
“Salak Pondoh. Enak lho, Kang. Kalau mau ambillah….”
Merasa terpancing dengan keramahan si penumpang tadi, Kang Dalimin menjumput sebiji salak yang ditawarkan. Kang Dalimin mengucapkan terima kasih, mengupas dan mengunyahnya. Setelah itu, ia kembali melempar pandang ke luar jendela. Tak diliriknya orang yang telah mengasih salak. Mukanya masam. Sesekali tampak ia terkantuk-kantuk, tapi selalu tak dapat memejamkan mata. Kerunyaman tengah mengunjungi pikirannya.
Awalnya begini. Lantaran segala usaha yang pernah dilakoninya selalu gagal, istrinya mendesak agar dirinya meminta semacam ‘amalan’ kepada kyai.
“Lihat Kang,” ujar istrinya pada suatu hari, “Kang Nasoha jualan mie ayam laris bukan kepalang. Batiknya Kang Darmadi sampai di pasarkan ke luar kota, bahkan sekarang sudah jadi juragan hebat. Pak Sugeng, layar tancapnya menancap di mana-mana kalau musim manten tiba. Itu karena mereka punya ‘amalan’ dari kyai, Kang."
"Tidak seperti Sampeyan, jualan arit cuma bertahan seminggu, buka warung kopi tiga hari kontan bangkrut, nebeng jualan batik sama Kang Darmadi ujungnya ditipu, buka warung kelontong malah sering tombok. Nah, sekarang mumpung belum terlambat dan supaya segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik dan lancar. Tidak ada buruknya sebelum buka usaha tempe, cobalah minta amalan pada kyai siapa gitu, biar rejekinya tidak seret kaya begini,” istri Kang Dalimin terus bicara.
Mulanya Kang Dalimin hanya mampu diam dan acuh mendengar anjuran istrinya. Tapi, ujungnya dipikirkannya juga desakan istrinya. Hingga kerap ia duduk sendiri di balai-balai depan rumahnya hingga malam melarut. Tapi kyai siapa yang akan ia mintai ‘amalan’, pikirnya. Ah, ia tidak punya banyak kenal kyai. Solat saja baru belajar setelah punya anak satu. Anaknya Kang Dalimin sekarang empat.
“Gus Mus, Kang!” tukas istrinya, membuyarkan lamunannya.
“Aku barusan mimpi ketemu Gus Mus. Mungkin ini suatu petanda bahwa Sampeyan harus ketemu Gus Mus, Kang.”
Merasa terpancing dengan keramahan si penumpang tadi, Kang Dalimin menjumput sebiji salak yang ditawarkan. Kang Dalimin mengucapkan terima kasih, mengupas dan mengunyahnya. Setelah itu, ia kembali melempar pandang ke luar jendela. Tak diliriknya orang yang telah mengasih salak. Mukanya masam. Sesekali tampak ia terkantuk-kantuk, tapi selalu tak dapat memejamkan mata. Kerunyaman tengah mengunjungi pikirannya.
Awalnya begini. Lantaran segala usaha yang pernah dilakoninya selalu gagal, istrinya mendesak agar dirinya meminta semacam ‘amalan’ kepada kyai.
“Lihat Kang,” ujar istrinya pada suatu hari, “Kang Nasoha jualan mie ayam laris bukan kepalang. Batiknya Kang Darmadi sampai di pasarkan ke luar kota, bahkan sekarang sudah jadi juragan hebat. Pak Sugeng, layar tancapnya menancap di mana-mana kalau musim manten tiba. Itu karena mereka punya ‘amalan’ dari kyai, Kang."
"Tidak seperti Sampeyan, jualan arit cuma bertahan seminggu, buka warung kopi tiga hari kontan bangkrut, nebeng jualan batik sama Kang Darmadi ujungnya ditipu, buka warung kelontong malah sering tombok. Nah, sekarang mumpung belum terlambat dan supaya segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik dan lancar. Tidak ada buruknya sebelum buka usaha tempe, cobalah minta amalan pada kyai siapa gitu, biar rejekinya tidak seret kaya begini,” istri Kang Dalimin terus bicara.
Mulanya Kang Dalimin hanya mampu diam dan acuh mendengar anjuran istrinya. Tapi, ujungnya dipikirkannya juga desakan istrinya. Hingga kerap ia duduk sendiri di balai-balai depan rumahnya hingga malam melarut. Tapi kyai siapa yang akan ia mintai ‘amalan’, pikirnya. Ah, ia tidak punya banyak kenal kyai. Solat saja baru belajar setelah punya anak satu. Anaknya Kang Dalimin sekarang empat.
“Gus Mus, Kang!” tukas istrinya, membuyarkan lamunannya.
“Aku barusan mimpi ketemu Gus Mus. Mungkin ini suatu petanda bahwa Sampeyan harus ketemu Gus Mus, Kang.”
“Gus Mus siapa?” jawab Kang Dalimin datar.
“Eee, Gus Mus yang kyai dari Rembang itu.”
“Ketemu Beliau saja belum pernah. Kamu pernah apa ketemu Gus Mus?”
“Pernah.”
“Kapan?”
“Yaitu tadi, lewat mimpi.”
“Hmm, mimpi.”
“Lho, ketika orang tengah disibukan cari jalan keluar dari persoalan yang membelit, bisa jadi mimpi itu suatu petunjuk, Kang.”
Atas desakan sang istri, Kang Dalimin akhirnya berangkat juga ke Rembang, ke rumah Gus Mus. Dan tidaklah sulit mencari rumah beliau, karena memang seorang kyai kondang dan punya pesantren. Semua orang Rembang tahu siapa beliau. Tapi karena barangkali hati Kang Dalimin yang tidak mantap atau keberuntungan tidak sedang dipihaknya, sesampainya di rumah Gus Mus, orang yang dicarinya tak ada di rumah.
Menurut istrinya, beliau baru saja berangkat ke luar kota. Terpaksalah ia harus balik lagi ke Jogja. Mukanya kecut.
***
Kang Dalimin melangkah goantai ke luar gerbang terminal. Kemudian dihampirinya tukang es kopyor di sebrang jalan. Tentulah untuk menghilangkan dahaga sepanjang perjalanan tadi. Ia merogoh saku bajunya dan menyodorkan uang seribu perak pada tukang es kopyor. Satu gelas es kopyor siap seruput.
Baru beberapa seruputan, sebuah mobil carry menepi, persis di depanya.
“Asalamualaikum, Gus Mus,” kata salah seorang yang turun dari mobil, kemudian bersalaman dengan orang yang disebutnya Gus Mus, yang tak lain adalah orang tadi yang duduk satu bangku dalam bus dengan Kang Dalamin. Ya! orang yang menawarkan salak dalam bus itu.
Orang yang dipanggil Gus Mus menjawab salam dua orang yang turun dari mobil, yang sepertinya memang sengaja untuk menjemputnya.
Kang Dalimin terhenyak. Matanya membelalak seperti penumpang bus kota yang sedang mengincar bangku kosong. Dipandangnya orang yang disebut Gus Mus dengan lekat. Begitu Kang Dalimin yakin, buru-buru ia letakan gelas es kopyornya, lalu menghambur mengejar mobil yang mulai beranjak laju.
“Gus Muuuus!” teriak Kang Dalimin seperti seorang suporter sepak bola saat jagonya membobol gawang lawan. Kontan orang-orang sekitar menoleh ke arahnya. Kang Dalimin tak peduli. Ia terus berteriak dengan lantang menyebut nama Gus Mus.
Untunglah carry itu berhenti, bergegaslah Kang Dalimin menghampiri. Seraya mengetuk kaca jendela mobil dengan cekat. Kaca jendela terkuak. Kang Dalimin melongok ke dalam.
“ Ada apa Pak?” kata salah seorang dari dalam mobil.
“Jangan panggil saya Pak, Gus. Nama saya Dalimin. Orang-orang biasa menyebut saya dengan diembel-embeli ‘Kang’ depan nama saya. Maaf saya mengganggu sebentar. Tapi benar kan Sampeyan Gus Mus?”
"Nggih, saya. Ada apa, Kang?”
“Masya Allah, Gus! Tadi kita kan duduk satu bangku toh? Maaf, saya kira tadi bukan Sampeyan.”
Gus Mus hanya mesam-mesem.
“Saya barusan dari Rembang, ke rumah Sampeyan. Tapi kata istri Sampeyan, Sampeyan baru saja ke luar kota . Walah, alahmdulillah akhirnya ketemu juga! Saya ada perlu dengan Sampeyan, Gus…,” Kang Dalimin mencoba mengutarakan niatnya. Tapi dua orang yang mengapit Gus Mus berkali-kali melirik arlojinya. Syukurlah Dalimin peka akan gelagat itu.
“Eee, maaf. Sampeyan sekarang hendak ke mana, Gus?”
“Taman Budaya,” jawab Gus Mus.
“ Taman Budaya…”
“Begini Pak, eh, Kang,” sahut salah seorang di samping Gus Mus. “ Gus Mus sekarang mau ada acara baca cerpen di Taman Budaya. Dan maaf, waktu kami sangat mendesak. Kami mau geladi bersih. Jadi….”
“Ya, ya. Saya maklum. Tapi, maaf Gus, saya benar-benar ingin ketemu Sampeyan. Sungguh saya ingin ngobrol dengan Sampeyan dan mau minta sesuatu….”
“Ya, kalau begitu setelah acara selesai, saya usahakan bisa mampir ke rumah Sampeyan. Di mana rumah Sampeyan, Kang?”
“Aduh, jangan Gus. Biar saya saja yang menemui setelah acara Sampeyan selesai. Biar nanti saya yang ke sana . Tidak apa-apa. Di mana tadi tempat pengajiannya?”
Kang Dalimin melangkah goantai ke luar gerbang terminal. Kemudian dihampirinya tukang es kopyor di sebrang jalan. Tentulah untuk menghilangkan dahaga sepanjang perjalanan tadi. Ia merogoh saku bajunya dan menyodorkan uang seribu perak pada tukang es kopyor. Satu gelas es kopyor siap seruput.
Baru beberapa seruputan, sebuah mobil carry menepi, persis di depanya.
“Asalamualaikum, Gus Mus,” kata salah seorang yang turun dari mobil, kemudian bersalaman dengan orang yang disebutnya Gus Mus, yang tak lain adalah orang tadi yang duduk satu bangku dalam bus dengan Kang Dalamin. Ya! orang yang menawarkan salak dalam bus itu.
Orang yang dipanggil Gus Mus menjawab salam dua orang yang turun dari mobil, yang sepertinya memang sengaja untuk menjemputnya.
Kang Dalimin terhenyak. Matanya membelalak seperti penumpang bus kota yang sedang mengincar bangku kosong. Dipandangnya orang yang disebut Gus Mus dengan lekat. Begitu Kang Dalimin yakin, buru-buru ia letakan gelas es kopyornya, lalu menghambur mengejar mobil yang mulai beranjak laju.
“Gus Muuuus!” teriak Kang Dalimin seperti seorang suporter sepak bola saat jagonya membobol gawang lawan. Kontan orang-orang sekitar menoleh ke arahnya. Kang Dalimin tak peduli. Ia terus berteriak dengan lantang menyebut nama Gus Mus.
Untunglah carry itu berhenti, bergegaslah Kang Dalimin menghampiri. Seraya mengetuk kaca jendela mobil dengan cekat. Kaca jendela terkuak. Kang Dalimin melongok ke dalam.
“ Ada apa Pak?” kata salah seorang dari dalam mobil.
“Jangan panggil saya Pak, Gus. Nama saya Dalimin. Orang-orang biasa menyebut saya dengan diembel-embeli ‘Kang’ depan nama saya. Maaf saya mengganggu sebentar. Tapi benar kan Sampeyan Gus Mus?”
"Nggih, saya. Ada apa, Kang?”
“Masya Allah, Gus! Tadi kita kan duduk satu bangku toh? Maaf, saya kira tadi bukan Sampeyan.”
Gus Mus hanya mesam-mesem.
“Saya barusan dari Rembang, ke rumah Sampeyan. Tapi kata istri Sampeyan, Sampeyan baru saja ke luar kota . Walah, alahmdulillah akhirnya ketemu juga! Saya ada perlu dengan Sampeyan, Gus…,” Kang Dalimin mencoba mengutarakan niatnya. Tapi dua orang yang mengapit Gus Mus berkali-kali melirik arlojinya. Syukurlah Dalimin peka akan gelagat itu.
“Eee, maaf. Sampeyan sekarang hendak ke mana, Gus?”
“Taman Budaya,” jawab Gus Mus.
“ Taman Budaya…”
“Begini Pak, eh, Kang,” sahut salah seorang di samping Gus Mus. “ Gus Mus sekarang mau ada acara baca cerpen di Taman Budaya. Dan maaf, waktu kami sangat mendesak. Kami mau geladi bersih. Jadi….”
“Ya, ya. Saya maklum. Tapi, maaf Gus, saya benar-benar ingin ketemu Sampeyan. Sungguh saya ingin ngobrol dengan Sampeyan dan mau minta sesuatu….”
“Ya, kalau begitu setelah acara selesai, saya usahakan bisa mampir ke rumah Sampeyan. Di mana rumah Sampeyan, Kang?”
“Aduh, jangan Gus. Biar saya saja yang menemui setelah acara Sampeyan selesai. Biar nanti saya yang ke sana . Tidak apa-apa. Di mana tadi tempat pengajiannya?”
“Bukan pengjaian, tapi baca cerpen,” timpal orang di samping Gus Mus.
“Iya itu maksud saya. Di mana?”
“Iya itu maksud saya. Di mana?”
“ Taman Budaya.”
“Ya. Taman Budaya. Nanti malam kalau begitu ya Gus? Aslamualaikum.”
“Walaikumsalam….”
***
***
"Apa amalannya, Kang?” tanya istrinya, tak sabar menunggu jawaban Kang Dalimin sepulangnya menenemui Gus Mus di Taman Budaya.”
“Amalan apa?!” jawab Kang Dalimin kecut.
“Sampeyan itu gimana toh! Ya amalan dari Gus Mus itu.”
“Beliau tidak punya amalan. Beliau bilang, “ Wah, saya tidak punya amalan apa-apa, Kang.”
“Lho, masa sih kiai tidak punya amalan?” protes istrinya.
“Itulah. Beliau hanya bilang, 'pokoknya bekerja dan Bismillah’. Apa-apa kalau pakai Bismillah pasti akan beres, rejeki lancar, insya Allah. Ah, kalau hanya bismillah sih sudah tahu dari dulu, sebelum saya bisa shalat.”
Sejenak istrinya diam.
“Ya, Bismillah itu mungkin amalannya, Kang!” sergah istrinya.
“Amalan kok pendek begitu. Saya lihat sendiri Kang Darmadi, ia kalau mau berangkat jualan batik komat-kamitnya sampai lima menitan kok.”
“Dengar dulu Kang. Biasanya kiai itu memang begitu. Ngakunya tidak punya apa-apa, tapi sebenarnya ia punya apa-apa. Di coba saja, Kang, barangkali cocok untuk Sampeyan yang mau jualan tempe. Siapa tahu.”
Kang Dalimin tertegun kemudian manggut-manggut. Didengarnya juga pendapat sang istri.
Maka mulai hari itu juga, bibir Kang Dalimin selalu dilumuri Bismillah. Mau apa saja. Mau membuat adonan tempe, memundak keranjang tempe, menawarkan tempe, memberikan uang kembalian, menagih utang. Pokonya pekerjaan apa saja yang dikerjakannya selalu menyertakan Bismillah, pada awalnya. Juga kalau mengawali bicara. Ia merasa ada yang kurang jika mengerjakan sesuatu tanpa bismillah dan tentu saja menutupnya dengan Hamdallah. Jadilah ia sorang pedagang tempe yang giat. Pastilah karena begitu cintanya pada Bismillah. Kalau tidak kerja berarti tidak berbismillah. Sibuk berbismillah berarti sibuk kerja.
Kang Dalimin tertegun kemudian manggut-manggut. Didengarnya juga pendapat sang istri.
Maka mulai hari itu juga, bibir Kang Dalimin selalu dilumuri Bismillah. Mau apa saja. Mau membuat adonan tempe, memundak keranjang tempe, menawarkan tempe, memberikan uang kembalian, menagih utang. Pokonya pekerjaan apa saja yang dikerjakannya selalu menyertakan Bismillah, pada awalnya. Juga kalau mengawali bicara. Ia merasa ada yang kurang jika mengerjakan sesuatu tanpa bismillah dan tentu saja menutupnya dengan Hamdallah. Jadilah ia sorang pedagang tempe yang giat. Pastilah karena begitu cintanya pada Bismillah. Kalau tidak kerja berarti tidak berbismillah. Sibuk berbismillah berarti sibuk kerja.
Lambat laun Bissmilah Kang Dalimin menjadi buah bibir. Konon Kang Dalimin dapat mengobati penyakit tertentu hanya dengan melafadzkan Bismillah. Seperti Narti anaknya Pak Kabul misalnya, yang demam berkepanjangan akhirnya sembuh lantaran usapan tangan Kang Dalimin yang disertai Bismillah. Kang Parjo yang punya penyakit batuk menahun, Bu Ijah yang ambeyen, Kang Ali yang encokan, semuanya selesai diatasi Kang Dalimin dengan Bismillah. Diam-diam, tapi ramai, banyak pasien berdatangan ke rumah untuk minta penyembuhan.
Saking membludaknya pasien, ujungnya Kang Dalimin kewalahan mengedarkan tempenya di pasar. Akhirnya ia memilih hengkang dari karirnya sebagai penjual tempe, dan memilih untuk buka praktek penyembuhan segala penyakit di rumahnya. Dan Kang Dalimin sukses!
***
***
Kang Dalimin harus segera pamitan pada Koh Alung, pelanggan tempenya dulu. Orang inilah yang mengajarinya ramuan obat-obatan Cina, yang selama ini ia pakai untuk para pasiennya. Ya, barusan istrinya berpesan lewat SMS, bahwa dirinya harap bersegera pulang.
Begitu Kang Dalimin masuk ruang tamu yang sekaligus juga ruang prakteknya, dirinya mendapati seorang pasien yang tengah duduk dengan letihnya. Pasitilah dari jauh. Nampak pasien itu sudah lama menunggunya tentu.
“Wah, saya nunggu Sampeyan dari tadi, Kang. Kata istri Sampeyan, Sampeyan lagi keluar kota. Jadi orang sibuk ya sekarang?”
“Bismillah. Masyaalah, Sampeyan toh Gus!
No comments:
Post a Comment